Depresi setelah Persalinan


Satu dari delapan ibu yang melahirkan pertama kali akan mengalami depresi setelah persalinan dan pada mereka yang telah mengalami hal ini sebelumnya akan mempunyai risiko satu dari empat persalinan untuk mengalami hal yang serupa. Gangguan ini sebelumnya tidaklah umum terjadi pada masyarakat yang memiliki konsep budaya timur, namun belakangan hal ini makin banyak dialami ibu-ibu yang melahirkan dan angka kejadiannya pun mendekati apa yang terjadi di barat.
SELAMA masa postpartum, sekitar 85 persen perempuan akan mengalami berbagai macam gangguan perasaan. Gangguan yang ditimbulkan antara lain postpartum blues, depresi pasca-persalinan hingga psikotik. Kebanyakan dari mereka merasakan gejala yang terjadi tidak terlalu mengganggu atau ringan, namun sebagian lagi merasakan hal tersebut sebagai suatu gangguan yang menetap. Depresi sering merupakan gejala yang kurang mendapat perhatian oleh penderita maupun oleh mereka yang merawatnya. Gangguan ini memberikan dampak yang sangat signifikan baik bagi si ibu maupun pada perkembangan dan perilaku anak nantinya. Untuk itu pengenalan dan penanganan gangguan secara dini adalah sangat esensial.
Etiologi
Gangguan depresi pasca-persalinan baru mendapatkan perhatian pada tahun 1960-an setelah B. Pitt mendiskripsikan adanya suatu bentuk depresi atipikal yang mempengaruhi ibu setelah anak lahir. Pasca-persalinan sendiri merupakan periode dimana terjadi perubahan fisiologis dan psikososial yang signifikan. Kompleks dan banyaknya faktor yang berperanan dalam perubahan ini menyebabkan sulitnya mengidentifikasi faktor risiko dan kemungkinan orang yang akan mengalami gangguan tersebut.
Secara demografi, sangat sedikit bukti yang dapat menunjukkan faktor demografi tertentu mempunyai peranan meningkatkan risiko terjadinya gangguan ini. Namun demikian dikatakan bahwa ibu yang berusia remaja mempunyai kecenderungan lebih tinggi (26%) mengalami gangguan. Adanya riwayat penyakit psikiatri sebelumnya merupakan suatu risiko yang signifikan untuk terjadi serangan ulangan, dimana untuk mereka yang mengalami gangguan depresi pasca-persalinan akan mengalami risiko hingga 50% pada proses persalinan berikutnya.
Banyak ahli kini memandang bahwa faktor hormonal sangat berperanan dalam menimbulkan gangguan ini. Hal ini dipandang berperanan karena masa pasca-persalinan memiliki karakteristik terjadinya perubahan hormonal yang sangat cepat. Dalam 48 jam pertama setelah melahirkan, hormon estrogen dan progesteron turun secara dramatis, demikian juga dengan konsentrasi kortisol yang turun setelah proses melahirkan. Selain itu, hormon tiroid juga mengalami penurunan dimana konsentrasi tiroksin yang tinggi pada masa kehamilan akan mengalami penurunan selama pasca-persalinan. Sementara itu, faktor psikososial dipandang memainkan peran penting, dimana terlihat bahwa hidup yang penuh beban selama masa mengandung atau pada saat akan melahirkan meningkatkan terjadinya gangguan depresi pasca-persalinan. Satu hal yang sangat konsisten adalah pada mereka yang melaporkan perkawinan yang tidak memuaskan atau dukungan sosial yang tidak memadai mengalami gangguan ini lebih banyak. Hal ini pulalah yang dipandang sebagai faktor yang menyebabkan mereka yang memiliki dukungan keluarga dan lingkungan yang memadai tidak akan mengalami gangguan ini, seperti yang terjadi pada masyarakat Bali, melalui upacara, pertunjukan dan dukungan kelompok-kelompok di masyarakat. Untuk itu diharapkan selama sembilan bulan mengandung merupakan proses bertapa baik bagi suami maupun istri sehingga dalam proses kelahiran nantinya suasana tenang dan penuh pengharapan akan mencegah terjadinya lonjakan perubahan baik fisiologis maupun psikososial.
Manifestasi Klinik
Penegakan diagnosa dinilai dalam waktu 4 minggu pertama setelah proses kelahiran, namun ada juga yang menilai bahwa gangguan pasca-persalinan ini merupakan episode yang terjadi dalam satu tahun pertama setelah anak lahir. Namun demikian, banyak dari mereka yang tidak terdiagnosa karena kurangnya perhatian atau terabaikan baik oleh penderita maupun oleh mereka yang merawatnya. Gangguan depresi yang tidak tertangani akan memberikan konstribusi pada gangguan yang sifatnya kronis dan berulang pada si ibu. Selain itu juga memberikan dampak pada fungsi kognisi, emosi dan perkembangan sosial pada anak.
Gangguan depresi pasca-persalinan merupakan hal yang umum terjadi selama masa pasca-persalinan dengan angka paparan 10%-15%. Angka kejadian ini hampir sama pada mereka yang tidak mengalami proses persalinan. Demikian juga dengan tanda dan gejala yang ditimbulkan memiliki kesamaan dengan apa yang dialami pada masa yang lain. Perasaan tidak nyaman atau menyenangkan (dysphoria), iritabel, kehilangan minat akan hal-hal yang menyenangkan (anhedonia), insomnia dan kelelahan merupakan keluhan yang umumnya dilaporkan selain keluhan somatik lainnya.
Sikap ambivalensi dan perasaan negatif terhadap bayi juga sering dilaporkan dan biasanya mereka juga sering mengekspresikan keraguan atau ketidakmampuan mereka dalam mengurus anaknya. Ide-ide bunuh diri juga sering dilaporkan meskipun angka kejadian bunuh diri pada mereka yang mengalami gangguan ini tercatat sangat rendah. Gejala kecemasan menyeluruh, gangguan panik, dan gangguan obsesif-kompulsif sering didapatkan pada mereka dengan gangguan depresi pasca-persalinan.
Penanganan
Durasi dari masa pasca-persalinan adalah bervariasi pada setiap orang, biasanya tidak lebih dari 3 bulan. Meskipun hal ini merupakan hal yang umum terjadi pada setiap orang, namun beberapa penelitian menunjukkan adanya efikasi dari penanganan dengan nonfarmakologis dan secara farmakologis.
Pada penanganan dengan obat-obatan yang perlu mendapatkan perhatian adalah respons penderita akan obat yang diberikan dan efek samping yang ditimbulkan. Walaupun pada dasarnya semua antidepresan pada dosis standar bersifat efektif dan memiliki toleransi yang baik. Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah pemberian obat ini juga akan disekresi melalui ASI. Golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) merupakan pilihan pertama karena sifat anxiolitik, non sedasi dan toleransinya yang baik. Selain itu, terapi hormonal juga menjadi suatu bentuk terapi yang dipandang dapat membantu meskipun masih tidak jelas siapa yang mempunyai respons yang baik pada terapi hormonal ini. Sehingga pada kasus yang sedang dan berat, pilihan pertama untuk terapi secara farmakologis adalah antidepresan. Untuk terapi nonfarmakologis yang banyak digunakan adalah terapi interpersonal dan cognitive-behaviour therapy. Menurut Suryani (1998), penanganan yang terbaik adalah perlu dilakukannya suatu program holistik dengan pendekatan bio-psiko-spirit-sosiobudaya. Program ini melibatkan janin, ibu dan bapak dari janin, lingkungan sekitar, serta dokter dan bidan yang mengasuhnya sehingga kebutuhan dasar janin dalam kandungan seperti kebutuhan dicintai, diharapkan, rasa aman dan tenang dapat terpenuhi. Selain itu meditasi dan relaksasi adalah salah satu program yang dapat diberikan pada orang tua yang ingin dan sedang mempunyai janin dalam kandungan dengan tujuan melatih orangtua agar mampu mengontrol emosinya, mengadakan komunikasi spiritual dengan janin dalam kandungan, dan mengantarkan ibu selalu sehat.
Latihan relaksasi khususnya, menurut Suryani, bertujuan selain menghilangkan rasa capek juga melatih ibu yang mengandung dapat tidur nyenyak. Dalam keadaan tidur nyenyak, akan tercapai keadaan homeostatis sehingga sistem hormonal dan daya tahan tubuh dapat mempengaruhi keadaan janin dan secara otomatis proses pengobatan oleh diri sendiri berfungsi. Sehingga dalam proses kelahiran nantinya tidak akan menimbulkan lonjakan perubahan sistem hormonal yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan depresi pasca-trauma.

0 komentar:

Posting Komentar

komentar membangun